Kenapa Liga Voli di Indonesia Tidak Begitu Terkenal

kenapa-liga-voli-di-indonesia-tidak-begitu-terkenal

Kenapa Liga Voli di Indonesia Tidak Begitu Terkenal. Proliga 2025, kompetisi voli teratas di Indonesia, baru saja memasuki fase reguler di awal Oktober ini, tapi sorotan publiknya masih kalah jauh dibanding liga basket atau sepak bola. Dengan hanya lima tim di sektor putra—seperti Jakarta LavAni Transmart, Jakarta Bhayangkara Presisi, Palembang Bank SumselBabel, Surabaya Samator, dan satu lagi—liga ini terasa sepi, jauh dari hiruk-pikuk final tahun lalu di Indonesia Arena. PBVSI, penyelenggara utama, akui tantangan ini, tapi alasan di balik ketidakpopuleran Proliga lebih dalam dari sekadar jadwal padat. Dari penurunan peserta hingga eksposur media yang minim, voli Tanah Air kesulitan bersaing di hati penonton. Di tengah prestasi timnas putri yang naik daun pasca-FIVB U-21, pertanyaan besar muncul: kenapa liga domestiknya tak ikut meledak? Ini cerita tentang peluang terbuang dan langkah perbaikan yang mendesak. BERITA TERKINI

Penurunan Jumlah Peserta dan Persaingan yang Melempem: Kenapa Liga Voli di Indonesia Tidak Begitu Terkenal

Salah satu pukulan terberat bagi Proliga 2025 adalah absennya beberapa tim kuat, yang bikin persaingan terasa kurang greget. Musim lalu, sektor putra diikuti enam tim, tapi kini tinggal lima setelah Jakarta Pertamina dan Jakarta BIN memilih mundur. Jakarta BIN, yang sempat jadi tuan rumah potensial, putuskan tak perpanjang kontrak—alasan utama mereka sebut soal kestabilan finansial. Padahal, tim ini punya sponsor solid dari Badan Intelijen Negara, tapi prioritas bergeser ke program lain. PBVSI sendiri mengaku tak tahu pasti motif di balik keputusan itu, tapi dampaknya jelas: final tak lagi digelar megah di Indonesia Arena Jakarta, malah balik ke GOR Amongrogo Yogyakarta karena animo lokal di sana lebih tinggi.

Ini bukan fenomena baru; persaingan yang kurang bergairah bikin penonton enggan datang. Dengan tim sedikit, laga-laga terasa predictable, kurangi daya tarik untuk live streaming atau tiket. Ketua Umum PBVSI Imam Soedjarwo bilang, meski ini bikin kompetisi lebih ketat per tim, tapi secara keseluruhan, liga kehilangan variasi strategi yang bikin voli seru. Bayangin, tanpa rivalitas klasik seperti BIN vs Samator, cerita off-court pun sepi. Akibatnya, penonton rata-rata per laga turun 20 persen dari 2024, meski tiket murah. Ini lingkaran setan: tim mundur karena biaya tinggi, liga sepi, sponsor ragu, dan akhirnya popularitas mandek.

Kurangnya Eksposur Media dan Dominasi Olahraga Lain: Kenapa Liga Voli di Indonesia Tidak Begitu Terkenal

Voli Indonesia punya basis fans setia, tapi media mainstream lebih pilih bola atau basket—itu alasan klasik kenapa Proliga tak pernah viral. Ekspos media voli terbatas banget; liputan TV nasional jarang, lebih sering di YouTube PBVSI yang view-nya tak tembus ratusan ribu. Sepak bola, dengan Liga 1-nya, kuasai slot prime time karena popularitasnya yang sudah mendarah daging—voli dianggap niche, meski timnas putri kita juara SEA Games berkali-kali. Di 2025, Proliga cuma dapat highlight singkat di Sport One, sementara NBA atau Premier League banjiri berita harian.

Sosmed pun tak banyak bantu; hashtag #Proliga2025 kalah jauh dari #Liga1, dengan engagement rendah karena konten kurang atraktif—tak ada drama transfer bombastis atau seleb endorser. Media asing bahkan sentil PBVSI karena tim doyan rekrut pemain asing mahal tapi mangkir dari AVC Champions League, bikin image liga domestik terlihat amatir. Hasilnya? Generasi muda lebih kenal Megawati di level internasional daripada bintang Proliga seperti Pascalina Mahuze yang main di klub lokal. Tanpa promosi masif, voli stuck di bubble penggemar hardcore, tak pernah meledak ke massa luas.

Masalah Manajemen: Investasi Asing yang Tak Seimbang

Manajemen Proliga juga jadi sorotan, terutama soal gaji pemain asing yang bikin kesenjangan lebar. Gaji import player bisa capai ratusan juta per musim, sementara lokal cuma separuhnya—SBY, tokoh voli senior, soroti ini sebagai pemicu ketidakadilan yang hambat pengembangan talenta muda. Tim seperti Surabaya Samator rajin shopping asing untuk cepat juara, tapi ini bikin liga terlihat bergantung luar, kurangi daya saing domestik. Di 2025, meski aturan batasi dua asing per tim, biaya transfer dan akomodasi tetap boros, bikin klub kecil mundur.

PBVSI akui tantangan funding; sponsor utama seperti PLN Mobile setia, tapi tak cukup tutup defisit. Tanpa model bisnis kuat—seperti merchandise atau partnership streaming—liga susah ekspansi. Plus, jadwal bentrok dengan liga luar negeri bikin pemain top seperti Megawati jarang muncul, tambah sepi bintang. Ini semua kumulatif: manajemen yang reaktif, bukan proaktif, bikin Proliga tak kompetitif secara global, apalagi domestik. Akibatnya, talenta muda pilih migrasi ke luar, tinggalkan liga kosong.

Kesimpulan

Proliga tak terkenal bukan karena voli Indonesia tak punya potensi—prestasi timnas U-21 saja sudah bukti—tapi karena campuran penurunan peserta, media minim, dan manajemen yang perlu revamp. Di 2025, dengan lima tim putra dan final sederhana, liga ini butuh injeksi darurat: kolaborasi TV besar, cap gaji seimbang, dan cerita naratif yang bikin fans ketagihan. PBVSI punya modal dari SEA Games, tinggal eksekusi. Bagi pecinta voli, ini momen bangkit—jangan sampai liga terbaik kita tenggelam di lautan olahraga lain. Proliga, saatnya gaspol; Indonesia siap sambut voli yang beneran nge-hits.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *