Kontroversi Voli Dan Kebijakan Olahraga Negara. Kontroversi voli nasional kembali memanas di akhir 2025. Mundurnya tim-tim besar, tuduhan pengaturan skor, hingga kritik tajam terhadap kebijakan olahraga negara jadi bahan pembicaraan hangat. Di tengah prestasi timnas yang lagi naik daun berkat medali SEA Games dan Asian Games, Proliga justru terbelah oleh isu dominasi klub institusi negara, gaji pemain asing yang tak terkendali, serta minimnya pembinaan usia dini. Banyak pihak menilai kebijakan olahraga saat ini terlalu berorientasi prestasi instan ketimbang pembangunan berkelanjutan. BERITA BOLA
Dominasi Klub Institusi dan Ketimpangan Kompetisi: Kontroversi Voli Dan Kebijakan Olahraga Negara
Klub-klub milik kementerian dan badan intelijen selama ini kuasai liga dengan anggaran jumbo, sementara klub swasta kesulitan bersaing. Musim 2025, sektor putra hanya diikuti lima tim setelah tim BIN mundur mendadak tanpa penjelasan resmi. Ini bikin kompetisi terasa hampa dan rawan manipulasi hasil. Beberapa pengamat bilang, kalau klub negara terus dominan tanpa aturan ketat, liga bakal jadi ajang pamer prestasi institusi, bukan pembinaan atlet nasional yang merata. Akibatnya, talenta muda dari daerah sulit naik kelas karena tak punya panggung.
Gaji Pemain Asing dan Salary Cap yang Belum Ada: Kontroversi Voli Dan Kebijakan Olahraga Negara
Gaji pemain asing yang tembus ratusan juta per bulan jadi sorotan utama. Klub-klub besar tak segan bayar mahal demi gelar, sementara pemain lokal sering kali lipat lebih rendah. Ini picu protes dari pemilik klub swasta yang minta segera diterapkan salary cap. Menpora Dito Ariotedjo sudah angkat bicara, dorong federasi buat aturan pembatasan agar kompetisi lebih sehat. Tanpa salary cap, klub kecil terancam bangkrut atau mundur, dan pembinaan pemain Indonesia jadi terbengkalai karena pelatih lebih pilih andalkan asing untuk menang cepat.
Tuduhan Pengaturan Skor dan Kepercayaan Publik
Babak final four 2025 penuh drama dengan beberapa pertandingan yang dianggap “aneh” oleh volimania. Skor telak tak wajar dan rotasi pemain yang janggal picu tuduhan main sabun demi skenario tertentu di grand final. Meski tak ada bukti resmi, kepercayaan penonton langsung anjlok. Federasi voli ditekan ubah format musim depan, mungkin kembali ke sistem home-away atau tambah jumlah pertandingan agar lebih transparan. Isu ini jadi bukti bahwa tanpa pengawasan ketat, prestasi di lapangan bisa tercoreng oleh kepentingan di luar lapangan.
Kesimpulan
Kontroversi voli 2025 jadi cermin kebijakan olahraga negara yang masih amburadul antara prestasi cepat dan pembangunan jangka panjang. Dominasi klub institusi, gaji asing tak terkendali, serta bayang-bayang pengaturan skor harus segera dibenahi kalau ingin voli Indonesia terus jadi kebanggaan. Pemerintah dan federasi perlu duduk bersama buat aturan salary cap, tambah jumlah tim, serta perkuat pembinaan usia dini di daerah. Kalau tidak, euforia voli saat ini hanya sementara, dan kita bisa kehilangan momentum emas yang sudah diraih dengan susah payah. Voli butuh kebijakan yang adil, bukan hanya gelar instan.